MoU BPI-Polri: Apakah Ini Peluang untuk Kerjasama atau Tantangan bagi Industri Film?
Badan Perfilman Indonesia (BPI) sedang mendapat perhatian publik. Melalui akun Instagram resminya, BPI memposting sejumlah foto tentang proses penandatanganan MoU dengan Divisi Humas Polri pada Senin (21/4/2025). Kesepakatan ini dinyatakan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualifikasi sumber daya manusia.
Ada delapan gambar yang disertakan dalam postingan itu. Sebagian besar gambarnya menggambarkan atmosfer pertemuan antara dua instansi tersebut. Yang menarik, gambar terakhir memperlihatkan sebuah layar yang mencantumkan notulen perjanjian bersama antara Polri dan BPI. Tercatat pada layarjudul dari notulen kerjasama ini adalah "Kerja Sama Sinergistik Dalam Pengawasan Produksi, Persebaran, Dan Penayangan Film Kejadian Nyata Milik Kepolisian Nasional Republik Indonesia".
Untuk Tirto, Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru, menyampaikan bahwa terdapat dua topik penting yang dibahas dalam naskah perjanjian antara organisasinya dengan polisi di Indonesia. Topik pertama adalah tentang meningkatkan kemampuan serta memanfaatkan tenaga kerja secara lebih baik. Sedangkan topik kedua berkaitan dengan pengaksesan data dan informasi.
"Target utamanya ialah bahwa sampai saat ini, apabila kami ingin meneliti mengenai kepolisian, tak terdapat jalur yang jelas. Dengan adanya hal ini, kami membuka saluran komunikasi tersebut, tujuannya agar lebih memudahkan bagi para peneliti," ungkapnya ketika ditemui dan diwawancara oleh Tirto pada hari Jumat, tanggal 25 April 2025.
Gunawan juga mengakui bahwa ada alasan yang wajar untuk ketidaknyamanan di kalangan publik dan para profesional industri film tanah air, khususnya berkaitan dengan istilah 'pantau' dalam dokumen kesepakatan antara organisasinya dan Polri itu.
Dia menyatakan bahwa versijudul yang beredar tersebut masih merupakan rancangan yang belum mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu BPI serta Polri. Dia memastikan, tak terdapat usaha pengawasan apa pun dilakukan oleh pihak kepolisian dalam perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding ini.
"Maka dari itu, kita lakukan MoU dengan Divisi Humas Polri. Humas sendiri tidak memiliki wewenang apa lagi untuk memantau? Mengapa mereka perlu bertanggung jawab atas pengawasan ini? Hal tersebut sama sekali tak berkaitan," katanya.
Dia menyadari bahwa hak untuk bersuara dan mengekspresikan diri telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 28E. Hal serupa juga tercantum dalam undang-undang tentang perfilman.
"Oleh karena itu, saya sering mengatakan pada teman-teman bahwa jika terdapat pengawasan dari mana pun, saya lah yang pertama kali maju. Lagipula, saya juga seorang pembuat film," tegasnya.
Gunawan menyampaikan rasa terimakasih kepada seluruh pihak yang peduli, baik itu dari kalangan publik maupun industri film dalam negeri, karena telah berkontribusi pada tahapan merancang MoU tersebut. Dia menjelaskan bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan oleh masyarakat adalah hal biasa, apalagi di tengah situasi sekarang dimana orang-orang khawatir tentang hak mereka untuk berekspresi secara bebas.
Dia mengatakan bahwa sekarang, Perjanjian Kerjasama itu masih dalam tahap perancangan dan diskusi mendalam. Dia menjelaskan bahwa Perjanjian Kerjasama tersebut pada akhirnya akan menjadi sebuah opsi untuk para pemain industri film di Indonesia.
"Jika berminat memakainya dan melakukan penelitian serta menggunakan fasilitasnya, misalnya teman-teman ingin menggunakan apa? Fasilitas Kepolisian Republik Indonesia? Baiklah, gunakan Memorandum of Understanding (MoU) ini sebagai dasar dalam mengusulkan kerja sama kepada mereka. Jika tidak, itu pun tak masalah," jelasnya.
Badan Perfilman Indonesia (BPI) merupakan sebuah organisasi terbentuk dengan tujuan mengoptimalkan partisipasi publik dalam bidang perfilman di negara ini. Status serta fungsi dari BPI ditetapkan melalui UU No. 33 tahun 2009 seputar industri film, lebih spesifik lagi pada pasal-pasal mulai 68 sampai 70.
Aturan dasar itu menetapkan bahwa posisi BPI adalah sebuah badan swasta yang independen, artinya bukanlah bagian dari atau dibawah kendali setiap instansi pemerintahan. Pendirian BPI ini bisa diprakarsai oleh publik dengan dukungan fasilitasi dari Pemerintah.
Kekhawatiran dengan Frasa ‘Pengawasan’
Ahli film, Hikmat Darmawan, meragukan pentingnya serta tujuan adanya perjanjian Memorandum of Understanding itu. Terlebih lagi, situasi dalam masyarakat sedang fokus pada Rencana Undang-Undang dan Undang-Undang yang diyakini dapat mengganggu kemerdekaan berpendapat dan sistem demokratis.Dia menggarisbawahi kalimat 'pemantauan' pada perjanjian kerjasama (MoU) di antara BPI dan Polri. Terlebih lagi, kedua belah pihak yang menandatangi dokumen ini yaitu BPI, organisasi yang berperan untuk industri film nasional, bersama institusi polisi.
"Menurut kita baik sebagai pembuat film atau pun para peneliti industri perfilman, hal ini tentunya kurang memuaskan. Sampai sekarang belum ada klarifikasi resmi, menyeluruh, dan komprehensif dari BPI sehingga muncul kerancuan, bahkan definisi 'pantauan' tersebut masih samar-samar," jelasnya ketika diwawancara oleh Tirto, pada hari Jumat, 25 April 2025.
Hikmat berpendapat bahwa BPI kurang sensitif dalam menjawab banyaknya pertanyaan seputar adanya perjanjian tersebut. Organisasi itu acuhkan situasi yang tengah dialami oleh masyarakat hari ini, ketika gerakan sosial sedang dilanda masalah-masalah yang membayangi demokrasi serta hak-hak warga negara.
Untuk BPI, Hikmat mengkritisi pentingnya ada MoU tersebut bagi industri dan ekosistem film Indonesia. Selanjutnya, dia ingin tahu siapa yang pertama kali mencetuskan ide tentang kesepakatan ini. Menurutnya, selama proses itu, BPI kurang berperan aktif melibatkan pemegang kepentingan di bidang perfilman.
"Pembimbing kritis dalam industri film jarang yang mengaku memahami atau terlibat dalam tahap ini. Bukankah hal ini penting untuk didiskusikan dengan para pemainnya? Setidaknya, usai semua pertikaian tersebut, apakah tak ada klarifikasi yang lebih rinci dan jelas tentang arti 'pemantauan',” katanya.
Setuju, Sutradara Film, Yosep Anggi Noen, turut menyuarakan kebingungan terkait makna dan tujuan dari MoU di antara BPI dengan Polri. Dia mengakui ketidaktahuannya tentang hal ini hingga secara tidak sengaja ia menemukan unggahan pada akun Instagram resmi milik BPI.
Seperti halnya Hikmat, Yosep juga menggarisbawahi istilah 'pengawasan' dalam perjanjian kerjasama tertulis antar dua institusi tersebut yang beredar di platform media sosial.
"Ini (Perjanjian Kerjasama) memiliki potensi masalah yang signifikan. Pasalnya, berdasarkan pilih kata dalam judul Perjanjian Kerjasama tersebut, terlihat cukup mengkhawatirkan," katanya ketika diwawancara oleh Tirto pada hari Jumat, 25 April 2025.
Yosep menyatakan bahwa BPI harus merujuk kepada peran yang lebih luas. Bertanggung jawab dalam pembentukan kebijakan sebagai fondasi strategis bagi perkembangan industri film, contohnya.
Namun, dalam kenyataannya, dia merasakan bahwa aktivitas BPI tampak lebih bersifat simbolis daripada nyata. Menurut pendapatnya, sikap tak dapat diprediksi dari BPI perlu dicermati dengan baik. Ini bisa dieksploitasi oleh kelompok tertentu.
"Bagaimana jika perjanjian kerjasama tersebut digunakan oleh sebagian orang sebagai dasar untuk mengatakan, 'sudah ada perjanjian kerjasama lho, kenapa engkau tidak sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjiannya,' begitu. Hal itu tentunya akan berdampak negatif," katanya.
Sebagai warga bangsa yang terlibat di industri perfilman nasional, Yosep dengan tegas menyatakan penolakanannya atas adanya nota kesepahaman (MoU) antara Badan Pengelola Industri Film (BPI) dan Kepolisia Republik Indonesia (Polri). Baginya, hal ini tidak rasional apabila kemitraan mereka dibuat semata-mata untuk membatasi pemanfaatan seragam polisi dalam produksi film.
"Mengapa perlu adanya MoU yang memiliki peluang besar untuk membuat aparat pemerintah terlibat dalam area-area yang seharusnya tidak perlu mereka masuki?" katanya.
Posting Komentar