Latih Empati Anak dengan Menonton Film Fantasi: Ayah&Bunda Ikuti Cara Ini untuk Jelaskan Perbedaan Realitas dan Khayalan

FILMnesia - Film-film khusus anak seringkali diperkuat dengan elemen-elemen fantastis seperti karakter magis, alam semesta ganda, bahkan dialog dengan entitas supranatural layaknya yang terlihat di film kartun "Jumbo". Adakah hal tersebut masih pantas bagi putra/putri Anda menontonnya? Fantasi sendiri tidak selalu menjadi ancaman bagi pertumbuhan mereka jika para orangtua mampu memandunya serta merespons rasa penasarannya secara tepat.
Bukan berarti semua elemen fiksi pada film untuk anak-anak sebaiknya dikurangi. Justru imajinasi memiliki fungsi yang signifikan dalam pertumbuhan mereka. Ini terutama membantu dalam bidang pemahaman serta daya cipta.
"Komponen kreatif mendukung anak dalam menggambarkan beragam skenario dari suatu keadaan dan memahami bahasa simbol," jelas Aironi Zuroida SPsi MPsi Psikolog.
Imajinasi yang terkandung dalam tayangan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengasah rasa simpati serta keterampilan pemecahan masalah pada anak. Walau bagaimanapun, Aironi tetap mementingkan keberadaan orangtua dalam membimbing anak ketika menyaksikan sebuah film.
"Orangtua harus menginformasikan kepada anak tentang apa yang merupakan imajinasi dalam film dan apa yang adalah kebenaran. Hal ini penting dilakukan sebab anak pada usia awal belum mampu menyaring dengan baik antara kedua hal tersebut," lanjut psykolog klinis dari Griya Psikologi itu.
Tanggapan kepada pertanyaan anak setelah menyaksikan pun memiliki peranan yang signifikan. Sebagai contoh, ketika seorang anak bertanya, "Apakah benar kita bisa bicara dengan roh?" Aironi mengusulkan bahwa orangtua harus hati-hati dan jangan buru-buru tertawa atau membantah.
"Sebaiknya tanyakan kembali dengan cara, 'Bagaimana menurut adik? Apakah pernah melihat ibu berbicara dengan hantu dalam film?' Kemudian jelaskan bahwa hal tersebut hanya sebagian dari narasi film yang diciptakan menjadi menghibur," terangnya.
Anak-anak dengan umur 2 sampai 6 tahun berada dalam stadium praoperasional. Di masa tersebut, pemikiran anak-anak itu banyak dipandu oleh interaksi langsung dengan dunia sekitar mereka. Meskipun kreativitas dan daya khayal mereka dapat berkembang pesat, kemampuan untuk mengenali perbedaan antara hal-hal nyata dan fiktif masih terbatas.
"Antara umur 4 hingga 6 tahun, anak mulai mengembangkan kecakapan dasar dalam memisahkan realita dengan khayalan; meskipun demikian, mereka tetap terpengaruh oleh lingkungan sekitar, perkembangan kemampuan berbahasa, serta dorongan yang diberikan orangtua. Oleh karena itu, pengawasan menjadi sangat esensial," papar Dosen di Universitas Wijaya Putra Surabaya tersebut.
Pada masa perkembangan mereka saat berusia sekitar tujuh tahun, anak-anak mencapai tingkat pikiran operasional konkret. Di titik ini, mereka mulai dapat menyadari dan menginterpretasikan bahwa gambaran yang ada di layar bioskop tidak selalu merefleksikan realitas hidup sehari-hari. Oleh karena itu, mendorong pemahaman ini sedini mungkin akan sangat membantu pertumbuhan mental anak secara keseluruhan.
Tanpa bimbingan yang tepat, imajinasi dari sebuah film dapat memiliki dampak pada aspek mental seseorang. "Anak-anak mungkin kesulitan untuk memilah antara realitas dengan khayalan, hal ini dapat menghasilkan rasa takut yang tidak masuk akal seperti ketakutan terhadap kegelapan atau ketidakmampuan untuk menggunakan kamar mandi sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka juga bisa salah menafsirkan pelajaran moral," jelas Aironi.
Meskipun demikian, film-film fantsi ternyata dapat pula berfungsi sebagai sarana pendidikan yang kuat. "Jika ada bimbingan, anak-anak malahan mampu memperkaya khayalan mereka, mengetahui makna-makna seperti keberanian, persahabatan, serta kolaborasi. Semua konsep ini pun tersedia dalam film 'Jumbo'," tambahnya.
Posting Komentar